Replikasi Pinjaman Online Legal: Modus Baru Transfer Dana Yang Disinyalir Berasal Dari Pinjaman Online Ilegal

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada kuartal akhir 2022 telah mengeluarkan sebuah aturan baru, yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 /POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK 10/2022). Peraturan ini berfokus pada regulasi penyelenggaraan industri fintech peer to peer lending atau yang biasa dikenal dengan pinjaman online. Sebelumnya, industri fintech peer to peer lending memiliki regulasi melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang saat ini sudah tidak berlaku lagi setelah diundangkannya POJK 10/2022.

 

Lahirnya suatu bentuk regulasi industri fintech peer to peer lending yang baru ini mengukuhkan eksistensi industri ini dalam masyarakat. Penyelenggara pinjaman online yang hendak melakukan kegiatan usahanya di wilayah hukum Indonesia harus memiliki izin serta tunduk pada aturan main yang ditetapkan oleh OJK melalui POJK 10/2022. Melalui aturan baru ini, OJK mengatur berbagai hal yang harus dipenuhi dan ditaati oleh seluruh penyelenggara Pinjaman Online yang telah berizin, seperti limit pinjaman, penyelenggaraan kegiatan usaha berbasis syariah, sertifikasi tenaga kerja, bentuk perjanjian pinjaman, metode penagihan, pengelolaan data pribadi, dan masih banyak hal lainnya. Adapun pengaturan mengenai hal tersebut dilakukan bukan hanya untuk melindungi industri tetapi juga demi melindungi konsumen dari praktik-praktik penyelenggaraan usaha yang bertentangan dengan hukum dan menyebabkan kerugian materiil maupun imateriil.

 

Bertentangan dengan segala aturan main yang telah ditetapkan oleh OJK tersebut, terdapat oknum-oknum yang menyelenggarakan usaha pinjaman online yang tidak berizin dari OJK atau biasa dikenal dengan pinjaman online ilegal. Modus yang dilakukan oleh oknum-oknum ini hampir serupa dengan kegiatan usaha penyelenggara pinjaman online legal, mereka membuat aplikasi kemudian mempromosikan aplikasi tersebut, sehingga menyebabkan banyak orang menggunakan aplikasi tersebut dan mengajukan pinjaman melalui aplikasi tersebut. Perbedaan utama antara pinjaman online ilegal dan legal terletak pada nominal bunga yang dibebankan kepada konsumen, pengelolaan data pribadi konsumen, serta metode penagihan yang dilakukan kepada konsumen. Nominal bunga yang dibebankan sangat besar, dimana hal itu berbeda dengan pinjaman online legal yang nominal bunganya mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh OJK. Metode penagihan yang dilakukan juga bertentangan dengan hukum, menggunakan kata-kata kasar, akses ilegal terhadap ponsel pengguna, bahkan sampai melakukan penyebaran data pribadi, tentu hal-hal ini tidak dilakukan oleh pinjaman online legal.

 

Belakangan, ditemukan adanya indikasi modus-modus yang disinyalir berasal dari pinjaman online ilegal juga, yakni dengan melakukan replikasi aplikasi, sosial media, website dari pinjaman online legal, sehingga seolah-olah hasil replikasi tersebut merupakan aplikasi legal padahal aplikasi tersebut adalah wadah milik oknum penyelenggara pinjaman online ilegal. Perbuatan oknum-oknum tersebut tentu sangat meresahkan dan merugikan para penyelenggara pinjaman online legal karena adanya suatu bentuk pencemaran atas nama baik setiap penyelenggara pinjaman online legal. Oleh karenanya perbuatan-perbuatan tersebut dapat diduga memenuhi ketentuan pidana dalam Pasal 35 jo. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 29 jo Pasal 45B ayat 2 UU ITE, dan/atau Pasal 100 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis.

 

Menyadur dari berbagai publikasi yang ada, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai wadah asosiasi yang menaungi seluruh pinjaman online berizin telah membuat press release dan membuat laporan masyarakat di Bareskrim POLRI sebagai bentuk upaya hukum untuk menghentikan aksi yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut.